Dari Busrah bintu Shafwan radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Apabila salah seorang dari kalian menyentuh dzakarnya, hendaklah ia berwudhu.”
(HR. Abu Dawud no. 154, dishahihkan Al-Imam Ahmad, Al-Bukhari, Ibnu
Ma’in dan selainnya. Kata Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu: “Hadits ini
paling shahih dalam bab ini.” Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 174)
Dalam riwayat At-Tirmidzi rahimahullahu disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Siapa yang menyentuh kemaluannya maka janganlah ia shalat sampai ia berwudhu.”
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu berkata tentang hadits ini: “Hadits shahih di atas syarat Al-Bukhari dan Muslim.” (Al-Jami’ush Shahih, 1/520)
Sementara Thalaq bin Ali radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pernah ditanya tentang seseorang
yang menyentuh dzakarnya setelah ia berwudhu, apakah batal wudhunya?
Beliau shallallahu ‘alaihi wassalam menjawab:
“Bukankah dzakar itu tidak lain kecuali sebagian daging dari (tubuh)nya?”
(HR. At-Tirmidzi no. 85 dan kata Ibnul Madini rahimahullahu: “Hadits
ini lebih baik daripada hadits Busrah.” Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullahu menshahihkan sanadnya dalam Al-Misykat)
Dua hadits di atas menerangkan, yang pertama menetapkan menyentuh dzakar itu membatalkan wudhu sementara hadits yang kedua menetapkan tidak membatalkan wudhu.
Sebagaimana dua hadits di atas bertentangan makna secara dzahirnya maka
dalam masalah ini ada perselisihan pendapat di kalangan ulama.
Pertama, berpendapat menyentuh kemaluan membatalkan wudhu
seperti pendapatnya Umar, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Aisyah,
Saad bin Abi Waqqash, Atha, Urwah, Az Zuhri, Ibnul Musayyab, Mujahid,
Aban bin Utsman, Sulaiman bin Yasar, Ibnu Juraij, Al-Laits, Al-Auza’i,
Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Malik dalam pendapatnya yang masyhur dan
selain mereka. Mereka berdalil dengan hadits Busrah. (Sunan Tirmidzi
1/56; Al-Mughni 1/117; Al-Muhalla 1/223; Nailul Authar 1/282)
Kedua, berpendapat dengan hadits kedua bahwa menyentuh dzakar tidaklah membatalkan wudhu.
Hadits ini dijadikan pegangan oleh mereka, seperti ‘Ali, Ibnu Mas’ud,
‘Ammar bin Yasir, Hudzaifah, Abud Darda, ‘Imran bin Hushain, Al-Hasan
Al-Bashri, Rabi’ah, Ats-Tsauri, Abu Hanifah dan murid-muridnya dan
selain mereka. (Sunan Tirmidzi, 1/57; Al-Mughni, 1/117; Nailul Authar,
1/282)
Ketiga, mereka yang berpendapat dijamak atau
dikumpulkannya antara dua hadits yang sepertinya bertentangan tersebut,
di antaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dan yang
lainnya, yang menyatakan apabila menyentuhnya dengan syahwat maka
hendaknya dia berwudhu dengan (dalil) hadits Busrah dan kalau
menyentuhnya tanpa syahwat maka tidak mengapa akan tetapi disenangi
baginya apabila dia berwudhu, dengan (dalil) hadits Thalaq.
Pendapat
inilah yang penulis pilih dan memandangnya sebagai pendapat yang rajih,
walaupun pendapat yang pertama menurut pandangan penulis adalah
pendapat yang juga kuat di mana pendapat ini banyak dipilih dan dibela
oleh ahlul ilmi, seperti di antaranya Al-Imam Ash-Shan’ani (di dalam
Subulus Salam, 1/104), Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu (Nailul
Authar, 1/283; Ad-Darari Al-Mudhiyyah hal. 36) dan yang lainnya. Namun
penulis lebih condong pada pendapat yang ketiga, wallahu ta’ala a’lam
bish-shawab wal ilmu ‘indallah.
Asy-Syaikh Al-Albani radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wassalam, “Hanyalah dzakar itu bagian dari
(tubuh)mu”, di dalamnya ada isyarat yang lembut bahwa menyentuh dzakar
yang tidak dibarengi syahwat tidak mengharuskan wudhu, karena menyentuh
dalam keadaan seperti ini sama halnya dengan menyentuh anggota tubuh
yang lain. Berbeda keadaannya apabila ia menyentuh dengan syahwat maka
ketika itu tidak bisa disamakan dengan menyentuh anggota tubuh yang
lain. Karena secara kebiasaan menyentuh anggota tubuh yang lain tidaklah
dibarengi dengan syahwat. Perkara ini adalah perkara yang jelas
sebagaimana yang kita ketahui.
Berdasarkan hal ini maka hadits: “Hanyalah dzakar itu bagian dari
(tubuh)mu” tidak bisa dijadikan dalil oleh madzhab Al-Hanafiyyah untuk
menyatakan bahwa menyentuh dzakar tidaklah membatalkan wudhu secara
mutlak. Namun hadits ini merupakan dalil bagi orang yang berpendapat
bahwa menyentuh dzakar tanpa disertai syahwat tidaklah membatalkan
wudhu. Adapun bila menyentuhnya dengan syahwat maka dapat membatalkan
wudhu, dengan dalil hadits Busrah. Dengan demikian terkumpullah di
antara dua hadits tersebut. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah dalam sebagian kitabnya berdasarkan apa yang aku
ketahui. Wallahu a’lam.” (Tamamul Minnah, hal. 103)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Apabila seseorang
menyentuh dzakarnya maka disenangi baginya untuk berwudhu secara mutlak,
sama saja apakah ia menyentuhnya dengan syahwat ataupun tidak. Apabila
menyentuhnya dengan syahwat maka pendapat yang mengatakan wajib baginya
berwudhu sangatlah kuat, namun hal ini tidak ditunjukkan secara dzahir
dalam hadits. Dan aku tidak bisa memastikan akan kewajibannya namun demi
kehati-hatian sebaiknya ia berwudhu.” (Syarhul Mumti’, 1/234)
sumber: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari